Planet-planet batuan, termasuk Bumi, sejatinya merupakan planet gas raksasa seperti Jupiter yang gagal terbentuk. Ini berdasarkan teori pembentukan planet terbaru yang diungkapkan oleh Sergei Nayakshin, astronom University of Leicester, seperti diberitakan Space.com.
Teori pembentukan planet yang umumnya dipercaya saat ini adalah akresi inti. Mulanya, ada piringan gas raksasa di sekitar bintang yang baru lahir.
Partikel debu pada piringan itu bergabung membentuk objek yang lebih besar disebut planetesimal yang kemudian membentuk struktur yang lebih besar.
Akibat proses itu, massa yang terbentuk pun lebih besar. Pada satu massa tertentu, disebut massa kritis, gravitasi akan menarik massa gas dari piringan yang terdapat di sekitar gumpalan tersebut.
Demikianlah, planet batuan kemudian terbentuk dari proses yang panjang dan rumit tersebut.
Teori baru yang diajukan Nayakshin disebut tidal downsizing. Berdasarkan teori ini, gumpalan gas pada awalnya terbentuk di zona yang jauh dari tempat planet umumnya ditemukan sejauh ini.
Dalam prosesnya, gumpalan gas mendingin dan menyusut menjadi planet yang masih tergolong massif, sekitar 10 kali ukuran Jupiter.
Selama penyusutan berlangsung, partikel debu yang terdapat dalam piringan gas bergabung menjadi lebih besar dan kemudian "jatuh" ke bagian tengah gumpalan gas, membentuk padatan yang solid di sana.
Di sinilah akhirnya terbentuk planet batuan primitif dengan pembungkus gumpalan gas di luarnya.
Peristiwa selanjutnya, piringan gas membawa planet primitif ini mendekati bintangnya. Gas pembungkus planet primitif ini kemudian "dimakan" oleh bintang induknya.
Bagian yang "selamat" hanya inti berwujud padat dan sebagian gas, terselamatkan karena massa jenisnya yang tergolong besar.
Proses perampasan gas pembungkus inilah yang kemudian membentuk planet Super Earth atau planet batuan seperti Bumi.
Dengan kata lain, Super Earth dan planet batuan pada dasarnya adalah planet gas yang tak memiliki kesempatan untuk tumbuh dewasa karena mekanisme di semesta serta "kejahatan" sang bintang.
Nayakshin menguraikan teori baru pembentukan planet ini di Monthly Notice jurnal Royal Astronomical Society yang terbit Agustus lalu.
Ia mengakui, sebagai sebuah teori baru, masih banyak kelemahan yang harus ditutupi dan masih harus diuji. Ia berharap para ilmuwan berkenan mengkaji lebih lanjut teori yang dipaparkannya.
Menanggapi teori Nayakhsin, Aaron Boley dari University of Florida yang melakukan penelitian tentang pembentukan planet gas raksasa mengatakan bahwa proses tidal disruption memungkinkan kehidupan berevolusi pada sistem bintang yang lebih bervariasi.
"Ini cara lain alam menciptakan planet," kata Boley. Makin banyak planet, makin besar potensi kehidupan.
Nayakhsin sendiri mengatakan, model akresi inti dan tidal disruption memiliki langkah-langkah fisik yang sama tetapi proporsinya berbeda.
"Dalam hal ini, model finalnya mungkin adalah gabungan," katanya. Ia juga menbambahkan bahwa planet batuan yang terbentuk pada proses tidal disruption mungkin berukuran "nol sampai 10 massa Bumi."
Sumber :
kompas.com
Teori pembentukan planet yang umumnya dipercaya saat ini adalah akresi inti. Mulanya, ada piringan gas raksasa di sekitar bintang yang baru lahir.
Partikel debu pada piringan itu bergabung membentuk objek yang lebih besar disebut planetesimal yang kemudian membentuk struktur yang lebih besar.
Akibat proses itu, massa yang terbentuk pun lebih besar. Pada satu massa tertentu, disebut massa kritis, gravitasi akan menarik massa gas dari piringan yang terdapat di sekitar gumpalan tersebut.
Demikianlah, planet batuan kemudian terbentuk dari proses yang panjang dan rumit tersebut.
Teori baru yang diajukan Nayakshin disebut tidal downsizing. Berdasarkan teori ini, gumpalan gas pada awalnya terbentuk di zona yang jauh dari tempat planet umumnya ditemukan sejauh ini.
Dalam prosesnya, gumpalan gas mendingin dan menyusut menjadi planet yang masih tergolong massif, sekitar 10 kali ukuran Jupiter.
Selama penyusutan berlangsung, partikel debu yang terdapat dalam piringan gas bergabung menjadi lebih besar dan kemudian "jatuh" ke bagian tengah gumpalan gas, membentuk padatan yang solid di sana.
Di sinilah akhirnya terbentuk planet batuan primitif dengan pembungkus gumpalan gas di luarnya.
Peristiwa selanjutnya, piringan gas membawa planet primitif ini mendekati bintangnya. Gas pembungkus planet primitif ini kemudian "dimakan" oleh bintang induknya.
Bagian yang "selamat" hanya inti berwujud padat dan sebagian gas, terselamatkan karena massa jenisnya yang tergolong besar.
Proses perampasan gas pembungkus inilah yang kemudian membentuk planet Super Earth atau planet batuan seperti Bumi.
Dengan kata lain, Super Earth dan planet batuan pada dasarnya adalah planet gas yang tak memiliki kesempatan untuk tumbuh dewasa karena mekanisme di semesta serta "kejahatan" sang bintang.
Nayakshin menguraikan teori baru pembentukan planet ini di Monthly Notice jurnal Royal Astronomical Society yang terbit Agustus lalu.
Ia mengakui, sebagai sebuah teori baru, masih banyak kelemahan yang harus ditutupi dan masih harus diuji. Ia berharap para ilmuwan berkenan mengkaji lebih lanjut teori yang dipaparkannya.
Menanggapi teori Nayakhsin, Aaron Boley dari University of Florida yang melakukan penelitian tentang pembentukan planet gas raksasa mengatakan bahwa proses tidal disruption memungkinkan kehidupan berevolusi pada sistem bintang yang lebih bervariasi.
"Ini cara lain alam menciptakan planet," kata Boley. Makin banyak planet, makin besar potensi kehidupan.
Nayakhsin sendiri mengatakan, model akresi inti dan tidal disruption memiliki langkah-langkah fisik yang sama tetapi proporsinya berbeda.
"Dalam hal ini, model finalnya mungkin adalah gabungan," katanya. Ia juga menbambahkan bahwa planet batuan yang terbentuk pada proses tidal disruption mungkin berukuran "nol sampai 10 massa Bumi."
Sumber :
kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
makasih